BULAN 5 MINGGU 2
Dear Kucay,
Udah 5 Bulan yah Cay ternyata, maaf yah
beberapa bulan ini aku enggak pernah kirim surat ke kamu. Yah walaupun kalo aku
kirim pun kamu belum tentu baca. Tapi
aku di sini masih dalam tahap penyesuaian untuk aku sendiri tanpa kamu. Dan
hari ini aku benar-benar merasa Uring-uringan
banget. Aku harus banyak cerita nih sama kamu.
Jadi gini Cay, mulai beberapa bulan
belakangan ini aku jarang banget pulang. Mungkin hampir enggak pernah. Banyak
banget kesibukan aku atau lebih tepatnya menyibukkan diri. Mungkin ini salah
satu cara aku melupakan kamu. Dan hari ini ditengah aku meeting Kakak aku telp
Cay, dia kasih tahu aku kalau Papa aku sakit. Papa memang udah kena Diabetes dari dulu dan akhir-akhir ini
kondisinya terus menurun. Aku kuatir Cay, setelah meeting aku memutuskan untuk
pulang ke rumah. Dan benar, aku melihat kondisi Papa semakin kurus. Dia masih
mau beraktifitas seperti biasa tapi menurutku itu cuma cara dia memaksakan
dirinya sendiri. Saat aku liat Papa aku cuma bisa duduk di meja makan dan
melihat dia yang terus-terusan Nyari aktifitas
yang menurutku enggak jelas. Mungkin
itu cara Papa menghilangkan rasa sakitnya. Tiba-tiba Papa diam dan menghampiri
aku ke meja, dia Tanya tentang kerjaan aku, mungkin itu adalah kali pertama aku
ngobrol sama dia setelah 2 tahun belakangan ini aku jarang ada di rumah.
Obrolan kami cukup serius, aku cerita lumayan banyak mengenai kerjaan aku, Papa
tidak terlalu kasih masukkan soal kerjaan aku, dia lebih memberi banyak wejangan tentang semangat kerja agar aku
lebih bisa semangat dan terus mencapai yang aku mau. Papa ajak bicara seperti
itu karena dia sendiri sudah banyak mengalami kegagalan yang dia tidak mau aku
dapatkan. Ini kali pertama Papa minta maaf karena dia merasa tidak bisa
membantu banyak perihal masa depan aku dari sisi akademis karena dia memang
tidak mampu menyekolahkan aku yang tinggi. Tapi disatu sisi aku tidak pernah menganggap
begitu, aku selalu merasa kalau saja aku lahir dari keluarga yang berada
mungkin aku tidak tahu gimana rasanya berjuang buat hidup aku sendiri. Papa
telah mengajarkan bahwa hidup belum tentu seperti yang kita mau, tapi kita bisa
dapat apa yang kita mau selama kita tidak berhenti untuk hidup.
Aku begitu menikmati obrolan Ayah-Anak
yang kami lakukan, sampai pada akhirnya Papa menanyakan hal yang menurutku itu
hanya ungkapan sebagian keinginan dia. “Belum kepikiran buat Nikah?” Tanya
Papa. Pertanyaan ini enggak bisa aku jawab, sampai Papa melanjutkan, “Papa mau
liat kamu dapet apa yang paling pantas buat kamu dan masa depan kamu, walaupun
papa ingin lihat lebih dulu bahwa kamu sudah menjadi orang yang pantas untuk
masa depanmu sendiri”. Aku diam, selama ini aku pikir Papa hanya orang yang
membiarkan hidupku apa adanya tanpa harapan lebih tapi ternyata dia tidak
secuek itu. Memperbaiki hidupku menurut dia adalah cara untuk memperbaiki
keluarga ini juga. Di umur 28 tahun ini aku memang mulai menyadari bahwa sudah
saatnya aku memiliki tanggung jawab lebih dan bukan hanya hidup untuk diri aku
sendiri. Mungkin jawaban itu bisa aku jawab dengan cepat kalau saja kamu ada di
sebelah aku saat itu, tapi itu udah enggak mungkin.
Seluruh keluarga aku mungkin udah
menunggu siapa yang aku pilih buat jadi pasangan aku nanti. Mereka menunggu aku
untuk benar-benar mempunyai pilihan yang tepat dan mampu membuat aku menjadi
lebih maju. Sejujurnya mereka sempat merasa tenang beberapa tahun yang lalu
karena mereka pikir aku sudah mempunyai pasangan yang bisa ada di hidup aku. Ya
enggak salah juga, karena beberapa tahun yang lalu aku menjalani hubungan yang
cukup serius dengan seorang perempuan yang sangat amat baik menurutku dan sudah
amat sangat dekat dengan keluargaku, seorang malaikat yang sanggup mengerti
apapun kondisi aku dan juga lemah lembut. Namun kondisi aku saat itu belum siap
dan aku hanya sering membuat dia sakit, ditambah dengan kesibukkan aku yang
saat itu enggak bisa kasih perhatian lebih ke dia sampai akhirnya kondisi salah
paham terjadi dan dia merasa aku enggak perhatian ke dia karena aku sudah
mempunyai yang lain. Pemikiran itu tidak salah juga karena aku memang sibuk
dengan yang lain tapi berwujud pekerjaan dan bukan perempuan. Disaat itu aku
memutuskan untuk terima keputusan dia tanpa bisa ketemu langsung dan hanya
lewat telp atau SMS. Sedih banget tapi aku tahu kalau aku juga belum bisa buat
dia bahagia dengan cara aku saat itu dan dia berhak mendapatkan kebahagiaannya
dengan lepas dari aku, aku enggak bisa menyakiti dia lebih dari itu. Perasaan
menyesal datang setiap saat.
Dan Sekarang keluarga aku mulai meminta
aku untuk menemukan orang yang tepat buat aku agar aku bisa memutuskan untuk
menikah. Menurutku enggak segampang itu untuk aku memutuskan menikah. Karena
aku tahu aku masih belum banyak kesiapan tapi aku juga tidak bisa membuat Papa
terus-terusan menjadikan aku beban pikiran dia lagi.
Mungkin ini memang sudah saatnya untuk
aku keluar dari kondisi diri aku yang seperti ini. Mungkin setelah menulis
surat ini aku harus hubungin Raffie, walaupun terkadang yang di kepalanya Raffi
hanya senang-senang tapi dia adalah orang yang mempunyai banyak ide. Semoga ide
dia kali ini bisa membantu yah Cay.
Cay, jangan marah yah sama cerita aku.
Kamu tau kan aku hanya bisa cerita ini sama kamu. Masih akan ada banyak cerita
lagi nantinya kok. Jangan kapok yah bacanya. Aku hanya cerita bahwa aku sudah
pernah kehilangan Malaikat sebelumnya dan kamu yang sekarang sudah menjadi
malaikat tanpa aku sempat merasa artinya memiliki. Kehilangan sosok Malaikat
bukan hal yang mudah.