Reinkarnasi Cinta,
mungkin inilah yang terjadi dan semua ditunjukkan dengan cara yang berbeda,
namun inti dari ceritanya sama. Bermula dari sebuah buku yang kutulis untuk
seorang wanita, buku yang menceritakan sebuah kejujuran dari seorang pria yang
selalu menjadi pembohong yang pintar. Dan pria itu adalah aku sendiri.
Aku telah menulis sebuah buku yang
berawal dari sebuah surat. Surat yang awalnya aku tulis untuk seorang perempuan
di masa lalu, untuk seorang yang telah pergi dari hidup ku dan membuat aku merasakan
pahitnya rindu yang selalu hadir tanpa undangan atau bahkan pemberitahuan terlebih
dahulu. Perasaan yang secara acak telah mengacaukan pikiranku, hingga aku harus
menulis surat untuknya sebagai bentuk apresiasi yang aku berikan kepada perasaan
rinduku.
Aku sendiri bukanlah orang yang
terbiasa untuk berbagi kisah, namun saat aku mencoba untuk mulai menulis surat kepada
wanita yang pernah menjadi bagian dari kesibukkanku, aku mulai merasa bahwa
menuangkan bahasa pemikiran di atas sebuah lembar putih ternyata menyenangkan.
Walaupun aku sudah tahu bahwa surat ini tidak akan pernah dibaca olehnya, aku
tetap merasa kata-kata yang kutulis ini akan sampai kepadanya, entah darimana
kepercayaan itu hadir, tapi aku tetap dengan semangat menuliskan surat
untuknya. Pramoedya salah satu penulis faforitku pernah berkata “seseorang akan
dikenang melalui tulisannya” mungkin ini berbeda, karena aku yang menuliskan
semua tentangnya dan bukanlah tulisan dari dirinya langsung tapi sekecil-nya
hasil tulisan yang kudapat, aku yakin akan ada yang mengantarkan cerita ini kepadanya. Dan aku menjadi beruban banyak,
dulu diriku adalah tipikal yang menampung banyak kata di dalam pikiran, kini aku
mulai merasa bahwa menyalurkan pikiran melalui sebuah tulisan bisa membuat hati
menjadi lega. Walaupun aku bukan seorang penulis tapi keinginan menulis bisa
terjadi, karena adanya sebuah pikiran yang luar biasa membuat sesak apabila tak
tersalurkan.
Aku telah menjalani sebuah hubungan yang
sangat indah, hubungan yang membuat aku berani untuk menetapkan pilihan dan
berhenti dalam sebuah pencarian. Aku pernah membaca sebuah artikel majalah yang
menceritakan bahwa wanita adalah tulang rusuk laki-laki dan setiap orang dilahirkan
dengan mempunyai jodohnya masing-masing. Namun saat aku membacanya, banyak
pertanyaan yang singgah dikepalaku, jikalau setiap manusia diciptakan dengan
memiliki jodohnya masing-masing, lalu kenapa masih ada yang meninggalkan dunia
tanpa memiliki pasangan. Pertanyaan itu melekat sampai aku mendapat jawaban
bahwa manusia hadir di dunia, mempunyai jodohnya masing-masing. Namun jodoh
yang diberikan bukanlah dengan cara cuma-cuma. Di balik pemberian sebuah jodoh
tetap ada yang sebuah ‘usaha’ di dalamnya. Bahkan walaupun jodoh itu dimulai
dari pilihan orang tua. Karena seandainya memang dari diri kita juga
menerimanya dengan senang hati maka pilihan kita tersebut dapat kita sebut
jodoh. Bagaimana jika tidak? Atau salah satu dari pasangan menolak? Maka kita
telah memaksakan jodoh kita. Selayaknya sebuah pilihan dan jika memang sebuah
perjodohan dari orang tua adalah pilihan kita, maka kita harus membuat calon
jodoh kita untuk juga dapat menerimanya, dengan senang hati, dan sekali lagi
tetap akan ada yang namanya berusaha.
Bahkan jika sebuah perjodohan dari
orang tua diterima dengan senang hati oleh kedua pasangan tersebut maka ada dua
kemungkinan yang terjadi. Kemungkinan pertama adalah karena pasangan tersebut
memang pantas dilihat dari usaha mereka terhadap diri mereka sendiri, saat
menjalani hidup mereka masing-masing atau karena usaha orang tuanya yang
membuat mereka pantas dijodohkan.
Jadi, semua karena usaha dari
masing-masing diri kita saat menghadapi jodoh yang diberikan. Dan bagaimana
jika kita merasa sudah berusaha namun pasangan kita lebih memilih pergi? Untuk
seorang wanita mungkin ada fakta yang belum bisa diterima banyak orang, tapi
faktanya jika seorang laki-laki memutuskan untuk pergi dengan mudahnya dari
hidup seorang wanita, maka itu dapat terlihat dari sejauh mana usaha pria
mendekati wanita dan apa tujuannya.
Tugas wanita adalah menyadarinya,
karena jika usaha seorang pria tidak ditunjukkan dengan keras, maka pria
tersebut pastinya menganggap hubungan ini seperti hubungan yang mudah, terlihat
dari bagaimana cara mereka menghargai hubungannya. Tapi untuk seorang pria,
dalam mencari pasangan sama seperti mencari tulang rusuknya sendiri, dan saat
tulang rusuknya sudah ditemukan ternyata sedang dalam posisi melengkung. Di
sinilah usaha seorang pria terlihat. Usaha yang mengharuskan mereka meluruskan
istilah ‘tulang bengkok’ dimana jika dipaksakan maka akan patah dan jika dibiarkan
melengkung maka akan terasa sakit di dada. Namun kembali lagi jika seorang pria
sudah memilih maka dia harus mempertanggung jawabkan pilihannya.
Aku sendiri menyadari hal itu dalam hubungan
yang aku jalani. Betapa susahnya aku menjadi seorang pria yang telah menentukan
pilhannya. Bukan karena aku terpaksa untuk menjalankan tanggung jawabku. Namun
aku merasa seorang pria yang sudah menentukan pilihan layaknya mobil yang
melaju di dalam jalur cepat, satu arah dan tidak ada jalan putar, bahkan tidak
boleh melawan arah. Pria itu sendirilah yang menentukan pintu keluar ada di
mana, di tengah? Atau di akhir? Apapun pilihannya, tergantung bagaimana
kesiapan seorang pria dan cara seorang pria menjalaninya. Aku yang dulu terlalu
pemilih dan cenderung cepat berganti pilihan, kini telah berani untuk berkata bahwa
aku telah memilih seorang yang kelak akan menjadi tempat terakhir untuk aku
singgah. Dialah pintu Tol terakhirku.
Sebelum menjalani hubungan baru dan
memilih untuk terus bersama seorang yang menurutku sudah sangat tepat untuk
diriku, aku sedang merasakan kehilangan dan itulah kali pertama aku menulis
surat hanya untuk melepas rasa rindu walaupun tidak terjawab, namun kuhentikan
karena saat itu menurutku, aku sudah cukup puas untuk meluapkan rasa rinduku
kepadanya.
Entah bagaimana, justru setelah aku
mengenal seorang yang telah aku pilih, aku ternyata mempunyai energi lebih
untuk meneruskan surat tersebut sampai menjadi sebuah buku. Buku yang kemudian
aku kirimkan untuk pasangan atau bahkan partner untukku, sebagai orang pertama
yang membaca hasil tulisan pertamaku.
Namun seiring dengan berjalannya waktu,
aku justru mengalami kejadian yang perlahan kualami, bahkan sama persis dengan
buku yang kubuat. Entah apahkah ini takdir atau memang disengaja, tapi aku
sempat merasa buku ini seperti buku yang mengutuk diriku dari
kesalahan-kesalahanku di masa lalu. Seperti sebuah reinkarnasi dari perasaan-perasaan
yang telah mati.
Setiap perasaan yang kutulis di buku ini
berubah menjadi kenyataan, dua kali berturut-turut, yaitu saat masih kutulis
dan setelah selesai kutulis. Buku yang sempat membuat aku takut untuk
membukanya kembali. Buku ini membuat orang yang kupilih untuk diperjuangkan,
merasa terinspirasi, sehingga aku merasakan kejadian yang sama persis dengan
buku ini. Semua perasaan yang ada dalam buku inilah yang mewakili isi
sebenarnya tulisanku dalam buku ini.
Aku memberanikan diri untuk membacanya
kembali. Suratku..Cay adalah judul pertama yang kuberikan pada buku tersebut,
sebelum menjadi judul yang sekarang, judul yang menurutku lebih jujur menurutku.
Judul awal tersebut sangat aneh memang,
tapi judul ini terpikiri karena buku ini kubuat untuk seseorang yang kupanggil
Kucay sebagai nama panggilan sayang. Dia memang sudah pergi lebih dulu
meninggalkan diriku. Namun dia adalah seseorang yang meninggalkan banyak
pelajaran dalam hidupku sebelum aku berani memutuskan untuk bersama orang lain.
Aku sempat merasa takut membacanya
kembali. Karena membuka buku ini kembali, sama seperti membuat aku teringat
kepada 2 masa lalu yang indah, namun harus kuakhiri dengan pahit. Buku ini
seakan bicara banyak tentang diriku. Aku memutuskan untuk membacanya kembali
dan mengingat dari waktu ke waktu, karena buku ini selayaknya buku yang
menceritakan perjalanan hidupku dari ke hari saat aku mulai mencintai
seseorang. Dan sekarang aku akan membacanya kembali dimulai dari BULAN PERTAMA.
No comments:
Post a Comment